Thursday, December 8, 2011

Agama Di TV Dan Dalam Kehidupan

Oleh: Abdurrahman Wahid


Pada suatu hari yang cerah, penulis memasuki ruang tunggu lapangan terbang Cengkareng, jam 5.30 wib pagi. Sambil menunggu saat penerbangan pertama ke Yogyakarta, penulis mendengarkan siaran TV di ruang tunggu itu. Seorang penceramah agama sedang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para pemirsa melalui telepon, ketika dihadapkan pada masalah-masalah hukum Islam (figh), di saat menjalankan ibadah haji. Salah seorang pemirsa menanyakan; apakah sebuah tindakan yang dilakukan jama’ah haji dapat dimasukkan dalam kategori perbuatan yang merusak ihram atau tidak.

Dalam menjawab pertanyaan tersebut, sang penceramah melakukan pembedaan, antara hal-hal yang merusak sarat-sarat ibadah haji, merusak kewajiban-kewajiban haji dan merusak ihram itu sendiri. Hal elementer seperti ini –dengan akibat hukum-hukum agama (canon law) sendiri pula yang biasa dipelajari dari kitab-kitab agama di pesantren, terpaksa dijelaskan di layar televisi itu oleh sang penceramah. Ini tentu karena sang penanya diandaikan tidak tahu masalahnya, karena mereka hanya berkomunikasi melalui telepon. Sekaligus, pertanyaan itu menunjukkan perhatian sang pemirsa tersebut pada segi-segi ibadah, ketika menunaikan perjalanan ibadah haji. Mungkin itu juga disertai oleh pandangan tertentu mengenai perjalanan haji: peribadatan yang menyenangkan, menjengkelkan atau yang tidak berguna sama sekali.

Sudah tentu sang jama’ah haji memiliki wewenang bertanya tentang sesuatu hal yang oleh jama’ah lain dianggap soal kecil. Bukankah ia telah mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk melakukan perjalanan tersebut, bahkan mungkin saja ia sampai menabung uang seumur hidup untuk itu. Karenanya, ia berhak bertanya apa saja , karena perjalanan tersebut merupakan sebuah obsesi dalam hidupnya. “Hak” ini adalah sesuatu yang sangat inherent dalam hidup sang penanya, dan sangat menyedihkan bahwa Departemen Agama Republik Indonesia (Depag-RI) yang menjadi penyelenggara ibadah haji tersebut tidak pemah mengumpulkan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu dalam sebuah buku yang dapat dijadikan pegangan bagi para calon jama’ah haji. Maka terpaksalah mereka bertanya melalui TV karena tidak ada saluran lain.

Ketika memasuki lapangan terbang itu, penulis juga berjumpa dengan Jajang dan Debra Yatim, keduanya seorang aktivis perempuan –yang, juga sama-sama akan menuju Yogyakarta, untuk menayangkan film tentang perjuangan kaum perempuan di negeri kita. Tentu saja pertunjukkan film tersebut akan disertai tanya jawab antara para pemirsa dan kedua aktifis terebut. Dan dapat diperkirakan , mereka akan berbeda mengenai tema makro yaitu tentang perjuangan menegakkan hak-hak wanita di negeri kita. Ini adalah hal yang wajar, bahkan kalau tidak dibicarakan, kita bertanya-tanya dalam hati, kedua orang aktifis itu untuk apa datang ke Yogyakarta? Kalau hanya untuk memutar film itu dapat dilakukan oleh para petugas setempat. Bahwa orang lain dapat saja menganggap pembicaraan mereka itu sesuatu yang bersifat setengah makro, karena membahas kurang lebih separuh warga masyarakat, yaitu kaum perempuan, tentu saja merupakan hal yang wajar pula.

Pembahasan baru dianggap makro, menurut pandangan ketiga dalam pembedaan pandangan masyarakat tentang negara, karena mereka berpendapat bahwa bahasan yang tidak menyangkut struktur masyarakat, belumlah dianggap sebagai pembahasan yang serius. Bahwa pembahasan mengenai nasib perempuan, termasuk apakah poligami (beristri banyak) selayaknya dilarang atau tidak, juga menyangkut posisi dan harkat tiga milyard jiwa lebih kaum perempuan di seluruh dunia saat ini, dalam pandangan ini tidak otomatis menjadikan masalah gender sebagai masalah makro. Memang ini adalah masalah yang sangat besar dan menyangkut jumlah manusia yang sangat besar pula. Tapi, ia tidak terkait dengan masalah struktur masyarakat.

Karena itu pula ia tetap diperlakukan sebagai masalah mikro. Di tambah dengan ketidakpedulian mayoritas jumlah laki-laki dan perempuan yang tidak memperhatikan masalah ini, dengan sendirinya masalah gender ini tidak berkembang menjadi masalah struktural. Memang para aktifis di berbagai bidang di lingkungan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dari jenis hawa, selalu meneriakkan dengan lantang bahwa masalah perempuan/gender adalah masalah struktural, tetapi tetap saja masalah itu diperlakukan dalam dunia LSM intemasional dan domestik sebagai masalah non-struktural. Ini memang menyakitkan, tapi dalam kenyataan hal ini memang terjadi, dan kita tidak usah meratapinya. Perjuangan memang masih panjang, dan hal itu tidak perlu diperlakukan secara emosional.

Paham ketiga tidak pemah mempersoalkan struktur masyarakat, dan menganggap semua struktur masyarakat yang ada dalam sejarah sebagai sesuatu yang benar. Masalah pokok yang dihadapi umat manusia, menurut pandangan ini, adalah bagaimana menegakkan keadilan dan kemakmuran –yang, dalam ajaran agama Islam disebut dengan istilah kesejahteraan. Jadi, menurut pandangan ini, masalah utamanya adalah penegakkan hukum dan perumusan kebijakan serta pelaksanaan di bidang ekonomi, terlepas dari jenis dan watak struktur itu sendiri. Inilah pandangan yang sering disebut sebagai pandangan non-struktural, juga dikenal dengan pandangan developmentalist.

Dalam pandangan ini, Islam atau agama-agama lain dapat berperan memerangi meterialisme dan sebagainya, tanpa terpengaruh oleh struktur masyarakat. Dengan demikian, masalah yang dihadapi terkait sepenuhnya dengan keahlian dan pengorganisasian sumber daya manusia yang dimiliki. Pandangan non-struktural ini, antara lain diikuti oleh para tehnokrat kita, yang selama ini menentukan kebijakan pembangunan yang kita ikuti sebagai bangsa.

Dan, temyata para tehnokrat tersebut telah menemui kegagalan, karena keadilan dan kemakmuran temyata tidak kunjung tercapai, yang menikmati hanyalah sejumlah konglomerat belaka. Karenanya, pembahasan mengenai hubungan antara agama dan idiologi negara, sebaiknya dibatasi pada pandangan-pandangan agama yang ada mengenai struktur sosial yang adil bagi seluruh warga masyarakat, dan menuju pada kemakmuran bangsa. Pendekatan struktural ini diperlukan, karena memang semua agama menghendaki masyarakat yang adil, menuju pencapaian kemakmuran. “Baldatun tayyibatun wa rabbun ghafuur” (negara yang baik dan Tuhan yang Maha Pengampun) adalah semboyan upaya kaum muslimin dalam menciptakan masyarakat yang demikian itu, sesuai dengan ajaran Islam sendiri. Karenanya, membahas hubungan antara Islam dengan negara, tanpa membahas struktur masyarakat yang hendak didirikan adalah sesuatu yang secara inherent menyangkut keadilan, dan dengan demikian merupakan struktur masyarakat yang benar. Dalam hubungan inilah, pembahasan kaitan antara Islam dan idiologi negara, sebaiknya benar-benar menjadi pusat perhatian kita.

No comments:

Post a Comment